Jumat, 02 Januari 2009

PEDULI BUTA

Diary My Firend, By: Abdul Latief

Setiap hari aku selalu menyempatkan diri untuk menelepon ke rumah untuk sekedar mendengar suara Mamaku atau bertanya kabarnya. Setiap hari kalimat, pertanyaan dan obrolan yang kami lakukan hampir tak jauh berbeda, namun selalu saja mendatangkan kebahagiaan yang tak terbayarkan oleh apapun. Padahal setiap minggu aku menyempatkan pulang ke rumah untuk mencium pipinya dan merasakan lezatnya masakan kesukaanku yang beliau selalu sediakan setiap aku pulang.

Ritual menelepon Mama ini telah menjadi kebiasaan yang menyenangkan bagiku setiap hari walau harus menambah pengeluaran pribadiku untuk ini, terlebih bila harus menelepon dari luar kota dikarenakan kegiatanku yang selalu dinas keluar kota. Di kantor memang ada telepon yang bisa saja aku gunakan secara gratis, tapi untuk urusan pribadi ini aku sengaja menggunakan telepon milikku dengan pulsaku sendiri, sebab itulah pesan mamaku dan mendiang ayahku padaku. Jangan sesekali menyepelekan hal kecil yang akan membuat kita terlena melakukan kesalahan besar. "Hal besar bermula dari yang kecil, seperti naik tangga yang harus dimulai dari pijakan tangga pertama, atau seperti bayi yang mulai merangkak lalu belajar berlari" begitu petuah yang kuingat dari mendiang ayahku.

Kebiasaan yang menyenangkan ini ternyata juga dilakukan oleh kakak perempuan dan laki-lakiku. Mereka setiap hari selalu menelepon ke rumah untuk melampiaskan rasa kangen dan bercerita tentang apa yang mereka alami hari itu selama 5 sampai 15 menit sekali menelepon. Hal yang membuat aku sangat salut adalah kakak laki-lakiku yang sedang dinas di Libya. Bayangkan oleh Anda, berapa uang yang harus dihabiskan olehnya untuk menyempatkan menelepon ke rumah dari Libya setiap harinya, bahkan tak jarang dalam sehari ia menelepon beberapa kali ke rumah.

Pernah aku bertanya padanya saat berkesempatan untuk chating yang hampir setiap hari juga aku lakukan dengannya. "Ik (begitu aku biasa memanggilnya), Kata Mama jangan setiap hari nelepon, mendingan uangnya ditabung aja. "

"Gak apa-apa kok De.. kan kesenangan dan kebahagiaan itu lebih berharga dari sekedar uang. Mendengar suara Mama membuat hati bersemangat di tanah rantau, apalagi mama selalu menyelipkan doa dan nasihat setiap kali nelepon, itulah yang tak akan terbayar oleh apapun. Lagian, semua yang berhasil kuiraih ini semuanya berkat perjuangan dan doa Orang tua kita" jawabnya lugas, yang membuatku tak dapat berkata apa-apa lagi selain mengiyakan dan semakin bersemangat menelepon ke rumah.

Jadi, kalau anda bertanya padaku hal apa yang paling menyenangkan di saat istirahat siang? Dengan tegas akan kujawab "Menelepon Mamaku..!". Padahal, tahukah Anda bahwa beberapa tahun yang lalu semasa aku masih kuliah, hal yang paling menggangguku adalah menerima telepon dari Mamaku yang hampir setiap hari menelepon ke HP-ku, dan bertanya "De, Lagi apa? udah makan belum? Kalau uang Jajannya mau habis pulang aja..! hati-hati ya…! jangan lupa makan, takut Mag nya kambuh..! awas jangan Demo, Mama takut kalau Dede ikut demo nanti kulaih gak lulus-lulus atau nanti ditangkap polisi" dan banyak lagi kata-kata yang menjadi ritual mamaku setiap kali meneleponku yang kost selama kuliah.

Biasanya, kalau sudah menerima telepon dari Mamaku, aku menjawabnya dengan kurang antusias, bahkan seringkali berbohong tentang keberadaanku saat itu, terutama berkaitan dengan Hobiku berdemonstrasi saat itu. Entah mengapa Mamaku seringkali tepat menelepon saat aku demonstrasi, yang membuatku terpaksa harus berbohong bahwa aku tidak ikut berdemonstrasi. Walau pada akhirnya mamaku marah-marah karena komentar, Foto, atau gambarku muncul di Koran bahkan televisi saat aku berdemo. Ternyata Mamaku sering mengamati koran atau berita yang muncul di TV hanya untuk memantau aktifitasku atau bahkan mencari tahu aktifitasku dari beberapa rekan.

Tak sekali juga aku berujar "Udah sich Ma.. gak usah teleponin Dede mulu, kan bukan anak kecil lagi, nanti tagihan telepon rumah jadi Mahal gara-gara Mama Nelepon Dede terus..." tapi seperti aku menggonggong, Mamaku tetap saja meneleponku untuk menanyakan hal yang sama dan sama setiap harinya, bukan hanya padaku, juga pada ketujuh anaknya yang lain. Hingga beberapa teman sering meledekku, "Anak mama ni ye......!"

Aku sudah berubah, kini setelah aku bekerja dan semakin dewasa, aku baru mengerti bahwa apa yang dilakukan Mamaku adalah bentuk kasih sayangnya padaku. Terlebih sebagai Single Parent yang ditinggal mendiang ayahku sejak aku masih kelas 1 SMP, Mamaku sangat menginginkan ketujuh anaknya mendapatkan hidup, pendidikan dan Masa depan yang layak walau harus mengorbankan apapun yang beliau miliki, dan semua perjuangan itu tak akan mampu kami bayar dengan apapun juga.

Sebagai balas budi, kini kakak dan adikku sepakat bahwa setiap hari harus memberi kabar ke rumah, walau hanya lewat SMS. Sudah menjadi kesepakatan kami juga bahwa kalau tidak sangat terpaksa, jangan sesekali menceritakan hal buruk atau masalah apapun pada Mama, semua diselesaikan bersama kami dahulu semampu mungkin. Pokoknya demi membahagiakan Mama, kami selalu bercerita hal yang menyenangkan dan penuh dengan kemesraan setiap kali bertelepon dengan mama.

Komitment kami yang satu inipun cukup berhasil, sehingga tak jarang aku mendapat SMS dari adikku yang kekurangan uang di kost, atau mendapat kesulitan, maka dengan penuh kesenangan hati aku membantunya. Begitu juga aku pada kakakku dan kami semua saling menopang layaknya pilar rumah yang satu sama lain saling menguatkan.

***

Khusus pada malam ini, komitmen itu lagi-lagi muncul. Sebuah SMS dari Adik bungsuku meluncur ke HP-ku selepas shalat maghrib "Klo Seandainya Ochid Lulus kuliahnya lama, or dikeluarin, or terpaksa keluar kuliah, keluarga Ikhlas kan? Ochid lg ngobrol ma – salah satu pejabat fakultas, yang kurahasiakan identitasnya -- n ochid diancam...". aku yakin bahwa adikku hanya SMS padaku, sebab aku yang paling paham tentang apa yang sedang dialaminya saat ini. walau seperti disambar petir di dalam kamar kost ku, aku berusaha untuk tidak panik dan meneleponnya. Tak seperti biasanya, ia adalah anak yang ceria dan penuh dengan semangat hidup, kini suaranya terisak dan penuh tekanan. Batinnya sedang tertekan yang sangat, ada siksaan batin di sana, dia tak menjawab apa-apa atas teleponku hanya beruajar "Nanti Ochid SMS..!"

Entah mengapa, jiwa anarkis kembali menyeruak dalam batinku, kalau saja tak masih mengenakan sarung dan bertafakur di atas sajadah, aku akan langsung ke kampus tempat adikku diintimidasi dan melabrak oknum pejabat fakultas yang menurutku keterlaluan dan kekanak-kanakan itu.

Pasalnya, Adikku saat ini sedang mencalonkan diri menjadi Ketua BEM Fakultas. Dalam masa seleksi pendaftaran, dari Empat pasang yang mencalonkan diri, hanya adikku yang lolos dan dinyatakan oleh KPU Fakultas sebagai calon tunggal Ketua BEM Fakultas. Hal ini dikarenakan calon yang lain tidak lulus ketentuan Administratif. Namun lagi-lagi kenyataan bahwa politik itu kotor, dan nafsu hegemony sangat kuat, maka oknum Pejabat dekanat yang terlanjur memiliki calon dari mahasiswa itu akhirnya membela mati-matian calonnya yang kalah dengan mengenyampingkan netralitas dan objektifitasnya sebagai pejabat dekanat.

Konyolnya, calon yang didukungnya secara membabi buta itu telah jelas-jelas tidak memenuhi 3 (tiga) ketentuan dalam Undang-Undang Kamahasiswaan. Pertama, Dia telah memalsukan surat keterangan kuliah dari Fakultas yang menjadi persyaratan utama. Jelas ini kejahatan moral. Kedua, Syarat pencalonan IPK minimal 3. ternyata calon yang dibela secara buta itu ber-IPK sekitar 2,5. Ketiga, Calon ketua BEM tidak boleh sedang menjabat ketua salah satu organisasi di Kampus, sedangkan calon yang dia dukung masih menjabat sebagai ketua salah satu UKM (Unit Kegiatan Mahasiwa). Itulah, kejamnya politik yang telah membutakan mata hati oknum pejabat fakultas tersebut.

Ya.. ya.. ya... lagi-lagi naluriku sebagai kakak telah membangkitkan emosi pemberontakkanku yang selama ini telah sukses aku redam. Saat aku jadi Presiden Mahasiswa dulu, ancaman dan intimidasi seperti ini bukan barang baru bagiku, bahkan seringkali aku diperlakukan tidak adil dalam banyak hal, dan Alhamdulillah aku berhasil menghadapi itu semua dengan tegar. Lalu bagaimana jika tekanan dan intimidasi ini dialami adikku yang setahuku belum berpengalaman akan hal ini. Aku tidak rela semua ini terjadi pada adikku, aku ingin sekali melabrak dan menghantam oknum pejabat itu tak peduli denga apa yang akan kualami nanti. Tapi lagi-lagi sejadah dan sarung tempat aku bertafakur di maghrib itu seakan menahanku dan menenangkan jiwaku.

Kuambil HP ku dan mengirimkan SMS pada beberapa tim sukses, rekan, dan beberapa orang lainnya untuk membantu adikku yang kini tengah disiksa batin oleh pejabat itu "Adik sy Caon tunggal BEM FE, krn lawan politik gak lulus administratif. Sekarang pola lama dipakai, intimidasi gak lulus kuliah, kuliah molor, dan DO. Inna lillahi wa inna Lillahi Rajiun, saya pernah mengalami hal kezaliman ini dulu,trnyata msih dilestarikn. Adik sy tidak stegar sy dulu,mohn maklum klo dia mengundurkan diri"

Beberapa SMS dan telepon balasan kuterima, mereka memberikan dukungan moril, bahkan beberapa sudah meluncur dan tiba di lokasi untuk membantu. Namun dari sekian SMS, ada satu yang paling mengena di hatiku yaitu dari Sobatku TB.Zaki Anshori, seorang Aktifis sejati, ustadz sekaligus kakak bagiku "Assalam, Keadaan yg mmbuat qt seperti ini... klo memang berat, kita tidak minta diringankan,.. tapi kita minta dikuatkan dalam menjalaninya.."

Astaghfirullahal Azhimm... akupun dulu pernah menghadapi masalah berat seperti ini dan hampir menyerah, tapi nyatanya kekuatan Doa dan Usaha maksimal, telah membuatku tegar dan sukses menghadapinya. Bukankah ini ujian pertama adikku di tahap ini, Lantas kenapa aku memaksanya untuk menyerah..?

Terkadang mendidik orang tidak mesti dengan kelembutan dan rasa iba, melainkan dengan ketegasan dan kenyataan. Biarkan adikku mengalami hal ini, dan jangan minta dia untuk menyerah, ini bagian dari pelajaran hidup yang akan membuatnya kuat. Dosenku, Mr.Boby pernah bercerita bahwa ia seringkali melarang anaknya Kemah Pramuka atau naik gunung, padahal saat sekolah dan kuliah dulu beliau sangat hoby kemah pramuka dan naik gunung, bahkan beliau masih mengakui bahwa kegiatan itu sangat bermanfaat membentuk pribadinya sampai seperti sekarang.

"Peduli Buta,begitu aku menyebutnya. Rasa sayang kita pada seseorang telah membuat kita terlalu berlebih memanjakan dirinya dan menjauhkan dari cobaan hidup, padahal semua ujian itulah yang membuatnya kuat dan tegar menghadapi hidup. Sampai kapan kita akan peduli buta pada orang lain, dan tidak pernah membiarkan dia menghadapi ujian hidupnya sendiri yang lebih nyata dan membuatnya semakin kuat.

Jika orang tua tidak pernah membiarkan anaknya mengikuti ujian, maka selamanya orang tua itu tidak pernah mendapatkan anaknya naik tingkat dalam kehidupan. Sejak kecil di rumahku ada pembantu, tapi ayahku selalu memaksa kami menyuci piring dan mengerjakan kebutuhan hidup sendiri. Ternyata hal itu berguna sampai saat ini, ketika mengharuskan kami hidup mandiri dan tak lagi mampu mempekerjakan pembantu, tak terbayang jika aku tak pernah dididik mandiri, maka aku akan menjadi orang yang lemah.

Seperti inilah Tuhan membentuk kita. Pada saat Tuhan membentuk kita, tidaklah menyenangkan, sakit, penuh penderitaan, dan banyak air mata. Tetapi inilah satu-satunya cara bagi-Nya untuk mengubah kita supaya menjadi kuat dan memancarkan kemuliaan-Nya.

"Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai cobaan, sebab Anda tahu bahwa ujian terhadap kita menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang supaya Anda menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun."

Apabila Anda sedang menghadapi ujian hidup, jangan kecil hati, karena Dia sedang membentuk Anda. Bentukan-bentukan ini memang menyakitkan tetapi setelah semua proses itu selesai, Anda akan melihat betapa cantiknya Tuhan membentuk Anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar